Merapah.com – Di tanah Lampung, singkong bukan sekadar tanaman. Ia menjadi nadi kehidupan ribuan petani. Pemprov Lampung mencatat, pada tahun 2024 luas lahan singkong mencapai sekitar 254 ribu hektare.
Ada empat kabupaten yang menjadi sentra produksi, yaitu Lampung Utara, Lampung Timur, Tulang Bawang Barat, dan Tulang Bawang.
Harga Singkong Murah, Potongan Berat di Pabrik
Namun, di balik hamparan hijau itu, kenyataan pahit menimpa petani. Harga singkong murah terus menekan, sehingga keluarga petani hanya bisa mengelus dada.
BACA JUGA: Bandar Lampung Pecahkan Sekubal Rekor MURI Terbesar di Indonesia
Lebih ironis lagi, potongan atau refraksi yang mencapai 47 persen seakan menjadi “pajak tak resmi” sebelum hasil panen sampai ke pabrik.
Bayangkan, dari satu ton singkong, hampir separuh dianggap hilang. Pabrik berdalih kualitas rendah, kadar pati kurang, atau ukuran tak sesuai standar.
Sistem ini menjadikan petani sebagai pihak paling lemah dalam rantai pasok. Mereka tak punya pilihan selain menerima harga yang sudah “dikerat” sebelum dibayar.
Janji Regulasi, Realita Masih Sama
Pemerintah pun mengetahui persoalan ini. Imbauan demi Imbauan telah disampaikan, bahkan janji perbaikan regulasi juga pernah diumumkan. Gubernur Lampung, Mirzani Jausal, tercatat melakukan koordinasi dengan Kementerian Pertanian dan DPR RI.
Dirjen Tanaman Pangan melalui surat pada 12 September 2025 menetapkan kembali harga minimal singkong Rp1.350/kg secara nasional.
Namun di lapangan, situasi tetap sama. Pabrik masih menjalankan aturan sendiri, seakan kebal terhadap teguran. Kebijakan baru sering hanya berakhir sebagai berita hangat sesaat tanpa pengawasan ketat dan sanksi tegas.
Nasib Petani Semakin Berat
Petani akhirnya hanya bisa berharap pada nasib baik yang semakin hari terasa makin jauh. Mereka bekerja keras dari pagi hingga senja.
Namun, hasil yang dibawa pulang sering tak cukup menutup biaya pupuk, apalagi kebutuhan rumah tangga.
Kondisi inilah yang membuat banyak anak muda desa enggan meneruskan usaha tani. Mereka menyaksikan keringat orang tua tidak sebanding dengan hasil.
Padahal, Lampung dikenal sebagai lumbung singkong, yang seharusnya melahirkan generasi petani baru.
BACA JUGA: Bhayangkara Presisi Lampung FC Resmi Diperkenalkan, Siap Berlaga di Liga 1 2025/2026
Pemerintah Harus Tegas, Bukan Sekadar Mengimbau
Pemerintah seharusnya tidak berhenti pada himbauan. Negara perlu hadir sebagai pengawal kebijakan dengan sanksi tegas. Regulasi tanpa pengawasan ibarat pagar yang tak pernah dipasang.
Pelanggar mudah melompati aturan itu dan tidak mendapat perlindungan, lalu tetap melenggang seperti ungkapan “anjing menggonggong kafilah berlalu.”
Singkong memang tanaman sederhana, tetapi masalah di sekitarnya jelas kompleks. Selama pemerintah tidak mengatur refraksi secara adil dan membiarkan pabrik menentukan aturan, kesejahteraan petani tetap menjadi slogan kosong.
Tiga Langkah Solusi Berkelanjutan
Ada tiga langkah yang bisa menjadi solusi berkelanjutan:
1. Publikasikan dashboard kepatuhan pabrik (harian/mingguan) berisi harga transaksi, potongan aktual, dan status patuh per pabrik. Libatkan asosiasi petani untuk pemeriksaan di lapangan.
2. Bentuk Tim Pengawas lintas OPD (Perindag, Perkebunan, Satpol PP) dengan sanksi bertingkat. Sanksi mulai dari teguran, pembekuan, hingga pencabutan izin bagi pelanggar harga dan refraksi.
3. Terapkan kebijakan “Penyerapan Wajib” saat panen puncak berbasis kuota. Fasilitasi penyerap hasil (offtaker) BUMD ketika pabrik menahan pembelian.
Penutup: Harapan Petani Lampung
Sekali lagi, Pemprov Lampung harus berani tegas jika ingin mensejahterakan petani singkong. Pembentukan BUMD khusus pertanian bisa menjadi jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan yang tak kunjung usai ini.
Wallohu’alam.