Sinar matahari pagi menyelinap di sela-sela tirai kamar Alana. Suara burung yang berkicau membangunkan gadis itu dari tidurnya. Alana menguap kecil sambil melirik ponselnya.
Ada pesan dari Aryo, seseorang yang selama ini selalu berusaha mendekatinya. Alana mendesah, merasa tak lagi tahu harus bagaimana menghadapi sikap Aryo.
“Selamat pagi, Alana. Apa kabar hari ini?” begitu isi pesan Aryo.
Alana memandang layar ponselnya dengan ekspresi datar. Ia tak membalas pesan itu, sama seperti hari-hari sebelumnya.
Baginya, Aryo adalah pria yang terlalu keras kepala, tidak memahami isyarat bahwa Alana belum siap untuk membuka hatinya.
Namun, di kampus, Aryo berbeda. Ia penuh percaya diri dan selalu menyempatkan diri untuk menyapa Alana, bahkan ketika gadis itu berusaha menghindar.
“Alana, tunggu!” seru Aryo ketika melihat Alana berjalan cepat ke arah perpustakaan.
Alana berhenti sejenak, lalu menoleh dengan enggan. “Ada apa, Aryo?” tanyanya, suaranya dingin.
“Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Aryo sambil tersenyum kecil.
“Aku baik. Terima kasih,” balas Alana singkat sebelum melanjutkan langkahnya.
Alana Terjebak
Hari demi hari, sikap Aryo semakin membuat Alana merasa terjebak. Meski pria itu tidak pernah memaksa, perhatian yang terus-menerus justru menciptakan rasa tak nyaman di hati Alana.
Suatu sore, Alana memutuskan untuk berbicara secara langsung dengan Aryo.
Mereka bertemu di sebuah taman dekat kampus. Daun-daun yang menguning berguguran di sekitar mereka, menciptakan suasana melankolis yang seolah mencerminkan hati Alana.
“Aryo,” panggil Alana pelan.
Aryo menoleh, sorot matanya penuh harapan. “Ada apa, Alana?”
“Aku ingin kamu berhenti bersikap seperti ini. Aku tahu kamu baik, tapi aku… aku butuh ruang,” kata Alana dengan suara gemetar.
Wajah Aryo berubah seketika. Ia terdiam, menunduk, lalu menghela napas panjang. “Aku mengerti,” katanya akhirnya.
“Tapi, Alana, aku hanya ingin menunjukkan bahwa aku peduli. Aku pikir, dengan waktu, kamu akan melihat perasaanku ini tulus.”
“Tulus atau tidak, aku tetap butuh waktu untuk diriku sendiri. Jangan menggoda aku terus-menerus. Jika aku mau, aku akan datang sendiri,” ucap Alana tegas. Kata-katanya seperti pisau yang menusuk hati Aryo.
Waktu berlalu, dan Aryo mulai menjauh. Alana merasa lega, namun ada rasa hampa yang sulit dijelaskan. Ia mulai merindukan kehadiran Aryo, meskipun ia sendiri yang meminta pria itu menjauh.
Suatu malam, Alana duduk di tepi jendela kamarnya, menatap bulan yang menggantung di langit.
Ia teringat senyum Aryo, cara pria itu selalu mendengarkan tanpa menyela, dan bagaimana ia selalu ada di saat Alana merasa sendiri.
“Apa aku salah?” gumam Alana pada dirinya sendiri.
Puncak konflik terjadi ketika Alana menerima kabar bahwa Aryo akan pindah ke luar kota untuk melanjutkan studi.
Berita itu menyentak hati Alana. Ia merasa kehilangan sesuatu yang berharga, sesuatu yang selama ini ia abaikan.
Tanpa pikir panjang, Alana mengambil jaket dan berlari keluar. Ia menuju taman tempat mereka biasa bertemu.
Di sana, Aryo sedang duduk sendirian, memandang langit malam.
“Aryo!” panggil Alana dengan napas terengah-engah.
Aryo menoleh, wajahnya penuh keterkejutan. “Alana? Apa yang kamu lakukan di sini?”
“Aku… aku hanya ingin bilang, aku tidak ingin kamu pergi,” kata Alana sambil menahan air matanya.
“Aku menyadari bahwa aku butuh waktu untuk memahami perasaanku. Dan sekarang, aku tahu bahwa aku juga menyukaimu.”
Aryo terdiam beberapa saat, lalu berdiri dan mendekati Alana. “Kamu yakin? Aku tidak ingin memaksamu, Alana. Aku hanya ingin kamu bahagia.”
“Aku yakin,” jawab Alana, kali ini dengan senyum yang tulus. “Tapi tolong, beri aku waktu untuk menyesuaikan diri.”
Aryo tersenyum, lalu mengangguk. “Aku akan menunggumu, Alana. Seberapa lama pun, aku akan menunggumu.”
Malam itu, di bawah sinar bulan, mereka berdiri berdampingan. Tak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan.
Hanya keheningan yang penuh makna, menandai awal dari sesuatu yang baru.