Aku tidak pernah memilih untuk berjalan sendiri. Sendiri tapi harus kuat. Sejak kecil, aku bermimpi seperti orang lain: punya teman yang selalu ada, berbagi cerita, bercanda tanpa perlu merasa asing. Tapi hidup ternyata memilihkan jalur lain untukku — jalur yang lebih sepi, lebih sunyi, lebih berat.
Dulu aku membencinya.
Aku ingat betul masa-masa sekolah di mana aku duduk sendirian di pojok kelas, pura-pura sibuk menulis sesuatu hanya supaya terlihat kuat. Tidak ada yang memanggilku untuk bermain. Tidak ada yang mencariku saat jam istirahat. Dan ketika bel pulang berbunyi, aku berjalan sendiri, menelusuri jalanan tanpa pernah menoleh ke belakang, karena aku tahu, tidak ada yang mengejarku.
Hari demi hari berlalu. Kesendirian menjadi pakaian yang harus kupakai, mau tidak mau.
Pada awalnya, aku memberontak.
Mengeluh dalam hati, bertanya dalam doa yang panjang:
“Kenapa aku?”
Tapi dunia tetap diam. Tidak ada jawaban.
Hanya aku, dan langkahku yang berat.
Namun dalam diam itu, aku mulai menemukan sesuatu yang tidak pernah aku sadari: kekuatan kecil di dalam diriku.
Kekuatan untuk tetap berdiri walau tidak ada yang menopang untuk tetap melangkah walau tidak ada yang mengulurkan tangan.
Kekuatan untuk percaya bahwa, bahkan dalam kesendirian, aku tetap berarti.
Aku mulai memperhatikan hal-hal yang dulu luput dari pandanganku.
Kemudian, menyadari bahwa aku bisa mengendalikan diriku sendiri — aku bisa menentukan kemana aku melangkah, tanpa harus bergantung pada siapapun.
Belajar Lebih Tekun
Aku mulai belajar dengan lebih tekun.
Buku-buku menjadi temanku.
Mimpi-mimpi kecil yang dulu hanya terlintas di kepala, kini kugenggam erat. Aku tahu, mungkin tidak ada yang akan memberiku motivasi dari luar. Maka aku harus menjadi penyemangat untuk diriku sendiri.
Setiap orang punya titik rapuhnya. Aku pun demikian.
Ada malam-malam panjang yang kuhabiskan bertanya-tanya, “Apa semua ini akan sia-sia?”
Ada saat-saat di mana aku ingin sekali menyerah, melepaskan semuanya, dan membiarkan diriku tenggelam dalam keputusasaan.
Tapi entah bagaimana, setiap kali aku nyaris menyerah, ada bisikan kecil di dalam hatiku:
“Kamu sudah sejauh ini. Jangan berhenti.”
Bisikan itu sederhana, tapi cukup untuk membuatku bangkit lagi.
Sedikit demi sedikit. Langkah demi langkah.
Aku masuk ke perguruan tinggi.
Di sana, dunia tampak lebih besar, tapi rasa asing itu masih sama. Orang-orang datang berkelompok. Bercerita. Tertawa. Menggenggam tangan satu sama lain dalam pertemanan dan cinta. Sementara aku? Aku tetap berjalan sendiri, menembus kerumunan tanpa suara.
Tapi kali ini, aku tidak merasa kecil lagi.
Aku tidak lagi iri.
Aku tahu, kesendirian ini adalah jalan pembentukan.
BACA JUGA: Cerpen: Keinginan yang Tak Direstui
Sendiri Tapi Kuat
Semester demi semester kulalui dengan tekad penuh.
Aku jatuh. Bangkit. Jatuh lagi. Bangkit lagi.
Tidak ada yang memberiku pelukan saat aku menangis. Tidak ada yang memuji saat aku berhasil. Tapi aku tetap berjalan. Karena aku sudah belajar satu pelajaran paling berharga dalam hidupku:
Ketika tidak ada yang percaya padamu, kamu harus belajar percaya pada dirimu sendiri.
Kini aku di semester empat.
Banyak orang menganggap ini hanya angka.
Bagi mereka, semester empat hanyalah fase biasa dalam perjalanan kuliah. Tapi bagiku, ini adalah simbol perjuangan.
Ini adalah bukti bahwa aku bertahan ketika banyak alasan mengatakan aku tidak akan mampu.
Aku mungkin tidak punya kisah cinta manis yang bisa kubanggakan.
Aku mungkin tidak punya kelompok pertemanan yang selalu ada dalam setiap foto.
Tapi aku punya diriku sendiri — dan itu lebih dari cukup.
Aku melihat ke cermin hari ini, menatap mataku sendiri, dan untuk pertama kalinya aku berkata, tanpa ragu:
“Aku bangga padamu.”
Karena aku tahu, semua luka, semua kesepian, semua perjuangan diam-diam itu, telah membentuk seseorang yang kuat.
Seseorang yang tidak menyerah meskipun tidak ada yang menyemangatinya.
Seseorang yang memilih bertahan, bahkan saat sendirian.
Aku berjalan sendiri.
Tapi aku tidak lemah.
Aku berdiri sendiri.
Tapi aku tidak runtuh.
Aku mungkin tidak punya banyak orang di sekelilingku hari ini.
Tapi aku tahu, di dalam hatiku, ada kekuatan yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun:
kekuatan untuk tetap bertahan, bermimpi, dan mencintai diri sendiri.
Aku sendiri.
Tapi aku kuat.
Dan untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu:
Itu adalah kemenangan terbesarku.
Tentang Penulis cerpen Sendir Tapi Kuat:
Sani Ngep, lahir di Kurumkim pada tanggal 25 September 2005, berasal dari Provinsi Papua Pegunungan, Kabupaten Pegunungan Bintang, Distrik Iwur. Sanny, merupakan mahasiswa Universitas Lampung angkatan 2023. Ia masuk ke jurusan Administrasi Negara di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Akun Instagramnya adalah @sani_ngep23.









